إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَر َ آيَتَانِ مِنْ ايَاتِ اللهِ لاَيَخْسِفَان ِ لِمَوت ِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَتَصَدَّقُوا وَصَلُّوا
“ Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Siti Aisyah ra.
Hadits di atas berkenaan dengan peristiwa kematian salah seorang putra Rasulullah yang kebetulan berbarengan dengan peristiwa gerhana. Orang-orang kemudian mengaitkan gerhana itu karena sebab kematian putra Rasulullah. Kurang lebih mereka beranggapan, gerhana terjadi karena wafatnya putra kekasih Allah itu. Rasulullah menepis anggapan yang beraroma syirik tersebut dan meluruskannya dengan hadits di atas.
Matahari dan bulan dinyatakan sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah, sekaligus nikmat yang amat besar. Bagaimana tidak, jagat raya amat bergantung padanya. Keteraturan daur hidup manusia dan kelangsungan hidupnya, banyak sekali berghantung pada dua benda angkasa itu. Cahaya matahari, menjadikan bumi, atmosfir, udara dan air menjadi kekuatan dan sumber energi dan rizki bagi kita. Bulan dengan cahaya lembutnya itu, mengajarkan manusia berhitung bilangan dan merancang masa depannya. Kekompakkan keduanya menjadikan malam begitu nyaman untuk istirahat, sementara siangnya adalah cahaya hidup bagi kita untuk mengais rizki yang Allah sediakan. Keduanya beredar pada garis edarnya mengikuti petunjuk Allah SWT.
Begitu ajegnya benda-benda langit itu menjalani fungsinya, tidak satupun dari keduanya saling bersinggungan dan saling mendahului demi kesimbangan alam dan mematuhi penguasanya.
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ﴿٣٨﴾ وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ﴿٣٩﴾ لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿٤٠﴾
“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.( QS. Yaasin [36] : 37 – 40)
Kita memang harus sering-sering membaca peristiwa alam. Terutama segala peristiwa yang begitu banyak menimbulkan kerugian bagi kehidupan kita karena ada campur tangan manusia di dalamnya. Kepandaian membaca peristiwa yang terjadi itu sangat penting untuk kita jadikan cermin dan kaca diri. Sebab, begitu banyak sudah peristiwa yang berseliweran berpapasan dengan kita, tidak sanggup kita baca dengan cerdas. Banjir dan longsor datang satu dua kali, bahkan puluhan kali, tapi penebangan hutan tidak pernah berhenti, bahkan semakin banyak hutan yang dibabat. Orang pandir masih saja tanpa dosa membuang dan menumpuk sampah di sungai-sungai.
Kadangkala, beberapa gelintir orang begitu ceroboh dan tanpa perhitungan memperlakukan alam dengan sangat tidak santun. Hanya demi keuntungan dan dalih pembangunan ekonomi, lautan bumi dieksploitasi berlebihan. Karunia dan titipan Allah itu diperas dan dipaksa melayani nafsu serakahnya. Akhirnya, orang lain yang lebih banyak menelan kepahitan akibatnya.
Kita perlu banyak belajar dari matahari dan bulan tentang rasa takut dan ketundukkan kepada Allah yang tanpa pamrih. Tentu dengan kapasitas kita sebagai manusia. Namun, identitas manusia yang kita sandang sebagai makhluk berakal dan paling mulia itu, seringkali disesatkan oleh egoisme tanpa tahu diri. Ternyata yang rajin merusak alam selama ini adalah manusia dan egonya. Yang mencemari sungai dan lautan adalah manusia dan egonya. Aduh sayang, kebanyak pelakunya justru adalah orang-orang beragama dan berTuhan. Dan … entah apalagi.
Kerusakan lingkungan yang berdampak buruk itu, tentu belum seberapa jika disejajarkan dengan kerusakan moral, aqidah dan keyikanan yang menjadi wilayah ruhani. Sampai hari ini, kita masih menyaksikan lahirnya manusia-manusia yang secara zahir berpenampilan rapih, berwibawa dan menarik. Tetapi setelah terkuak, ternyata hanyalah manusia-manusia rusak.
Pembusukkan aqidah, merupakan sisi lain dari persoalan yang dihadapi ummat Islam bangsa ini. Di rumah kita yang bersahaja, tempat yang paling aman bagi anak, isteri dan seluruh anggota keluarga, telah disusupi hantu, syetan, jin, makhluk halus dan lelembut versi elektronik. Apalagi, beberapa di antaranya jelas-jelas mengandung khurafat atau kesyirikan. Seperti seorang ustadz yang memakai biji tasbih sebagai jimat. Dari tasbih keluar huruf-huruf hija’iyyah atau bisa meledak. Ini sangat lazim muncul di TV. Padahal Nabi telah mengingatkan,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
”Sesungguhnya jampi, jimat dan pelet adalah kesyirikan.” (HR Ibnu Majah, Ahmad).
Sudah banyak ummat Islam yang terpikat kepada khurafat, takhayyul dan dunia mistis. Islam kemudian dipersepsikan sebagai agama yang penuh dengan nuansa mistis, agama yang menanamkan dimensi kualat dan berbagai kekerasan dunia ghaib. Semua itu, hampir tiap malam dapat disaksikan li layer kaca rumah kita. Tidak dapat dihindari, meskipun diangkat dari kisah nyata, sebagai kelengkapan cerita menuntut adanya tambahan dan rekayasa kejadian, nama maupun tempat. Unsur melebih-lebihkan dari kejadian sebenarnya jelas ada. Karena tanpa bumbu ini, cerita menjadi hambar, kurang dramatis. Akhirnya, kedustaan mendominasi isi cerita yang disajikan. Padahal Rasul pernah mengungkapkan :
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR Abu Dawud)
Di samping kebenaran cerita perlu dipertanyakan, kesimpulan dan pengambilan ibrah juga seringkali kurang bijaksana. Untuk satu kejadian mengerikan melulu dikaitkan dengan dosa tertentu. Misalnya kuburan yang tergenang air, lalu serta merta dikaitkan dengan dosa si mayit. Ini berbahaya dan naif, sebab bisa menimbulkan su’uzhan kepada mayit yang mengalami hal serupa padahal bisa jadi karena sifat tanah teempat penguburannya merupakan daerah sumber mata air.
Atau kuburan yang mengeluarkan asap, lalu serta merta juga dikaitkan dengan perselingkuhan yang pernah dilakukan si mayit. Hal-hal seperti ini dikhawatirkan ketika ada kejadian yang kurang wajar, lalu orang begitu mudahnya diarahkan untuk meyakini peristiwa aneh itu, dicari sisi dosa dan dibesar-besarkan, padahal ternyata hanya sebagai bumbu cerita saja.
Memang, kisah adalah sarana penting diterimanya dakwah. Tetapi tak perlu mengibuli umat untuk mendakwahi mereka. Untuk itulah Nabi tidak pernah bercerita kecuali yang benar. Jika ingin berkisah, maka sebaik-baik kisah adalah kisah yang dipaparkan di dalam Al-Qur’an. Datanya akurat, tidak ada kedustaan di dalamnya. Pelajaran yang bisa dipetik juga telah tergambar jelas. Misalnya tentang siksa bagi kaum Luth, di mana bumi di balik, mereka dihujani batu sampai mati, itu karena dosa homoseks yang mereka lakukan. Atau Qarun yang ditenggelamkan ke bumi beserta kekayaannya, itu karena kesombongannya.
Al-Qur’an memang memerintahkan agar kita percaya dan meyakini perkara-perkara ghaib. Tetapi, kepercayaan kepada yang ghaib harus sejalan dan sesuai sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah dan rasul-Nya. Bukan seperti yang dilakukan dan dipertontonkan oleh segelintir orang, yang dengan angkuh dan sombongnya menjelaskan perkara-perkara ghaib dari sumber bisikan-bisikan yang dikarang-karang. Mengapa kita harus mempercayai perkara ghaib berdasarkan bisikan-bisikan yang kebenarannya belum jelas sementara kesesatannya tidak diragukan. Wahai kaum muslimin, cukuplah Allah yang menuntun dan menunjukkan kita dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin sepenuhnya manusia dapat memahaminya. Bukankah Allah telah mengingatkan kita dalam firmannya :
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“ Katakanlah,” Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. Dan mereka tidak mengetahui kalau mereka akan dibangkitkan”. (QS. An-Naml [27] : 65)
Yah, kita memang perlu belajar ketaatan kepada berbagai peristiwa alam. Gerhana bulan yang baru saja kita saksikan, mudah-mudahan mengarahkan kita kepada aqidah yang murni, tanpa bumbu syirik dan khurafat. Ekspresi yang luhur atas gerhana hanya, shalat sunnah dua rokaat dan khutbah, memperbanyak sodaqoh dan bertakbir kepada-Nya. Wallahua’lam.