Monday, April 30, 2007

Ujian Nasional; Antara Harapan dan Kecemasan

Ujian Nasional tahun 2007 baru saja berlalu. Hajat tahunan dunia pendidikan kita itu sering menjadi pergulatan antara harapan dan kecemasan bagi keluarga ekosistem pendidikan; siswa, orang tua, guru dan sekolah. Begitupun Ujian kali ini.
Jika diuukur-ukur, suhu harapan dan kecemasan siapa di antara semua yang terlibat dalam ujian itu yang paling tinggi derajatnya dan logis, adalah siswa. Sebab yang paling merasakan semua konsekuensi langsung dari produk ujian adalah mereka.
Jauh hari sebelum Ujian Nasional sungguhan ditempuh, para siswa sebenarnya telah dipsudoujiankan berupa uji coba Ujian Nasional sebagai pra kondisi. Tidak jarang tingkat kecemasan dan harapan mereka sebenarnya telah menggumpal dan naik turun sejak proses ini dimulai. Energi intelektualitas mereka sebenarnya sudah mulai diperas lebih kencang dengan berbagai perangkat tambahan belajar, mulai dari jam nol, pengayaan, try out atau entah apalah namanya. Banyak di antara mereka kemudian mengalami kelelahan berfikir dan beraktivitas. Akibatnya ada di antaranya yang harus menuruti nasihat dokter beristirahat selama beberapa hari akibat stress. Paling tidak karena suhu badan mereka melonjak meninggi. Bisa jadi semuanya berawal dari rasa harap dan cemas yang out of control. Nah, secara tidak disadari, orang-orang terdekatnya itulah yang menciptakan kondisi demikian. Bisa orang tua, guru dan sekolah.
Kalau tidak untuk dikatakan berlebihan, begitu banyak hal yang dipertaruhkan untuk Ujian Nasional. Bukan saja fisik dan psikis, modal dan biaya, tetapi juga sisi paling nadir dari kesadaran manusia; harga diri. Harga diri siswa, harga diri orang tua dan tidak ketinggalan lembaga sekolah.
Bagi orang tua, meskipun tidak terlibat langsung dalam medan ujian itu, harapan dan kecemasan yang dirasakan tidak kalah tingginya dari putra-putrinya. Tentulah tidak terlalu sukar mengorek dan meraba apa alasan di balik hati mereka dari yang paling kasat mata hingga sekedar rabaan belaka. Ya, semua ongkos pendidikan sejak tahun pertama anak mereka duduk di bangku sekolah hingga tahun terakhir saat ujian, semuanya ditanggung mayoritas mereka. Belum lagi oksesories yang dijual di tengah-tengah kolega, rekanan dan teman sekantor, bahwa anaknya adalah kebanggaannya. Tentu bangunan kebanggan itu akan tetap dijaga dari keruntuhan dan terpaan angin, termasuk kegagalan dalam ujian. Nah, hal tersebut bisa menjadi pemicu yang epektif bagi berlipat-lipat kecemasan dan harapan mereka. Apalah jadinya jika harapan berbuah kegagalan. Bisa jadi, wajah mereka akan lebih banyak tertunduk, kuyu dan sedih.
Bagi guru dan sekolah, Ujian Nasional menjadi salah satu batu ujian untuk mengukur tingkat profesionalitas dan kredibilitas mereka yang dilihat oleh ribuan pasang mata. Lagi-lagi gengsi, reputasi dan prestise menjadi barang taruhan yang tidak bisa dihindari. Sekolah memiliki kepentingan yang amat besar di sini. Sebesar bangunan gengsi, reputasi dan prestise yang selama ini disemai, dirawat dan dinikmati manis madunya. Semakin besar dia, semakin kencang degub jantung karena harap dan cemas yang disuntikkan oleh Ujian Nasional.
Beberapa tahun ke belakang, banyak air mata yang tertumpah, banyak api yang berkobar dan banyak amarah yang lepas tali kekangnya. Dari air mata yang berurai lemah sanggup menyulut api yang menghanguskan gedung, meja-kursi dan semua perangkat keras institusi pendidikan. Amarah yang lepas menyambar-nyambar siapa saja (baca: guru dan kepala sekolah) dengan cercaan, makian bahkan bogem. Semuanya berujung karena harapan yang besar tidak kesampaian. Ia hanya membuktikan sebuah kecemasan ; gagal ujian. Semoga tidak terulang berulang-ulang.
Asal tidak muncul kembali fenomena itu, banyak sekolah dan institusi pendidikan mengambil dan memilih strategi naif. Strategi naif itu dibunyikan dengan melempar nilai-nilai kejujuran dan menggerus kedewasaan pendidikan. Ya, curang. Mulai dari strategi yang samar, sampai kepada tindakan yang paling kasar dengan cara memberikan kunci jawaban, mengganti jawaban siswa dan membocorkan soal. Akhirnya, alih-alih ingin menyelamatkan raut muka, malah membuat lubang dan bopeng di wajah sendiri. Ujung-ujungnya ada "ujian" di dalam Ujian
Sekarang, Ujian Nasional semakin diformat rapi untuk menghindari kecurangan, walaupun tidak menjamin seratus persen kecurangan itu tidak terjadi. Tetapi, tingkat kecemasan tetap tidak akan berubah bahkan semakin mahal sejalan dengan standar nilai kelulusan yang semakin dinaikkan. Kontroversipun mencuat, argumen bertarung. Dan yang menang adalah siswa yang siap. Siap untuk menghadapi Ujian sekaligus siap untuk menerima kegagalan. Wahai para siswa; anak-anakku, semoga berhasil ujianmu kini. Wahai para orang tua, catat dalam memorimu, kegagalan dalam Ujian bukanlah kiamat dan akhir segalanya. Kiamat memang semakin mendekat, tetapi belum terjadi. Wahai para pendidik, mari benahi KBM kita. Mari wujudkan harapan mereka bersama-sama. Dengan hati, dengan kasih sayang dan dengan ketulusan.

sekolah roboh

sekolah roboh