Wednesday, May 9, 2007

Sulitnya Merebut Perhatian SIswa; Catatan Pinggir Guru Kontrak

Telah ada pergeseran waktu dan pandangan hidup, sebenarnya adalah suatu keniscayaan. Semua kita, pasti akan merasakan dan harus siap menghadapinya. Sekuat tenaga dan sekuat fikiran apapun kita berupaya, pergeseran itu akan tetap hadir menunjukkan keberadaannya. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, pergeseran makna mendidik, mengajar, pola hubungan guru-murid, dari waktu ke waktu bergeser meninggalkan tempatnya semula. Satu sisi, pergeseran itu membangkitkan optimisme, sebab menunjukkan perbaikan yang bersifat mekanis. Pendidikan dan pengajaran semakin sistemik, terukur dan semakin membuka peluang lebar-lebar bagi perkembangan bakat dan minat siswa. Namun di lain sisi, guru; sebagai subjek pendidikan harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh berbeda ketika berhubungan dengan polah dan sikap siswa dalam proses pembelajaran sekarang.
Rasanya, ada nilai-nilai etis yang tergusur. Ada keluhuran yang menguap dalam pola hubungan guru-murid di balik kemajuan fisik pendidikan.
Dulu, "kehormatan" guru amat kental di mata siswa dan terpelihara secara alamiah. Guru betul-betul menjadi pusat teladan dan menjadi idola dalam pergaulan pendidikan. Siswa merasa "takut" untuk melakukan tindakan ataupun ucapan yang dirasa akan melukai hati gurunya.
Dulu, suara guru adalah suara dominan dalam setiap kali proses pembelajaran. Siswa merasa tabu dan tidak sopan apabila menyela pembicaraan gurunya di kelas.
Sekarang lain cerita. Siswa dengan amat biasa dapat saja mengangkat suaranya lebih keras dari gurunya. Bahkan kerap kali dilakukan pada saat-saat jam belajar. Mereka merasa tidak bersalah mengobrol, bercanda, tertawa pada saat-saat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan gurunya di kelas. Ya, seolah keberadaan gurunya di depan kelas, hanyalah sebagai keharusan saja. Padahal mungkin, guru merasa bahwa dia tengah "tidak diorangkan".
Dulu, dengan wibawanya; dengan kata-kata dan sikapnya, guru leluasa memberikan nasehat pendidikan yang menjadi bagian tugas-tugasnya. Dan siswa, dengan kebesaran hati dan "kepatuhannya" menerima hal itu dan menganggapnya sebagai perhatian guru terhadapnya.
Sekarang, siswa leluasa memberikan argumen apabila gurunya memberikan nasehat dalam bentuk teguran. Inilah suasana yang paling rawan. Secara tidak disadari muncul orogansi siswa dan egoisme guru. Tanpa bersalah, siswa sanggup mengatakan, " Pak !, saya bayar di sini". Dan ada guru kehilangan kedewasaan mendengar ocehan siswanya itu. Dengan suara yang agak meninggi ia menukas, " Kalau begitu, kamu bikin sekolah sendiri yang bisa kamu berbuat seenak hatimu".

***
Telah terjadi pergeseran pola hubungan guru-siswa, harus disikapi arif oleh tiga pilar utama pendidikan; keluarga, sekolah dan masyarakat. Nilai-nilai luhur seperti tata krama bagaimana pola interaksi yang sehat dibangun, harus tetap dipelihara. "Kasih-sayang" dalam konteks interaksi belajar, memang semakin kompleks. Kenyataan ini membutuhkan jalan keluar agar tidak ada satu pihak yang merasa tertekan dalam setiap kegiatan belajar mengajar, dan pendidikan dalam lingkup makro.

Pilar utama pendidikan.

Keluarga adalah madrasah pertama bagi peserta didik. Kedua orang tua menjadi guru, bukan saja secara pedagogis, tetapi adalah guru secara geneologis bagi anak. Sifat-sifat dan karakter anak banyak kesamaannya karena pengaruh gen kedua orang tuanya yang dibawa sejak lahir. Ayah atau ibunya yang paling dominan, itu persoalan kecenderungan saja. Faktor inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasila pendidikan keluarga. Sebab, kedua orang tua sekaligus gurunya itu, adalah orang yang paling memahami, paling dekat dan paling tahu kecenderungan anak di bawah buaiannya itu. Hal ini tentu berbeda, jika pola asuh dilakukan oleh orang lain selain kedua orang tuanya.
Keberhasilan pendidikan dalam keluarga akan menjadi jalan bagi keberhasilan pendidikan formal selanjutnya. Keberhasilan menanamkan nilai-nilai akhlak dalam keluarga, akan sangat membantu pembentukkan karakter siswa di sekolahnya kelak. Nah, di sinilah perlu ditanamkan kesadaran bagi orang tua, bahwa kewajibannya tidak sekedar melahirkan, memberikan sandang pangan atau kebutuhan fisik materi saja. Lebih dari itu, peran besar orang tua dituntut mampu memberikan pendidikan ruhani bagi buah hatinya.

No comments:

sekolah roboh

sekolah roboh