Menyaksikan wujud masjid berkubah emas milik Yayasan Dian al-Mahri memang menakjubkan, siapapun pengagumnya. Animo masyarakatpun nampak besar dan megah, semegah arsitektur bangunan masjid itu. Hampir setiap pekan di hari Sabtu dan Minggu, pengunjung berdatangan ingin melihat dari dekat menghilangkan rasa penasaran kubah emasnya yang konon 18 karat. Atau ingin meraba marmer lantai dan dindingnya yang konon pula didatangkan dari Italia kualitas terbaik. Mereka datang dengan bus-bus besar yang sengaja dicarter patungan. Lebih banyak lagi kendaraan pribadi. Sebagian besar mereka datang dari luar
Arsitektur bangunannya, lapis emas kubahnya dan marmer yang melatarinya, barangkali menjadi daya tarik yang mengundang kaum muslimin mengunjunginya. Terlepas dari kabar mistis entah dari mana ujungnya, konon masjid itu berasal dari perut bumi serupa cendawan muncul ke permukaan dan membentuk diri menjadi masjid, aya-aya wae. Jika dilihat dari bekasan pengunjung, tentulah mereka datang dengan bersusah payah, cucur keringat dan iuran seperak dua ribu untuk dapat menyewa bus pengantarnya. Saya, yang setiap hari kerja, berangkat dan pulang melintasi masjid itu, kadang tergelitik, jangan-jangan masjid mereka malah sepi jamaahnya. Atau tidak seantusias ketika bertamu ke masjid di Cinere, Depok itu. Mereka datang dengan pakaian yang kompak, seragam. Satu dua di antaranya menggunakan perhiasan mencolok dan bermake up agak mencorong. Maklum, wanita.
Tidak semua peziarah dapat merasakan kepuasan berdekatan dengan masjid yang dibangun sejak tahun 1999 itu. Banyak yang memendam kekecewaan dan menelan asa yang tak kesampaian. Bisa jadi karena ketidaktahuan, bahwa pengunjung di bawah usia 10 tahun tidak diperkenankan untuk memasuki rumah Allah yang mewah tersebut. Banyak di antara mereka bertanya, apa dalih yang membenarkan anak kecil dilarang masuk ke masjid ? Tentu, peziarah yang datang dari jauh akan merasa bahwa ini tidak adil dan aneh.
Saya agak heran, entah bagaimana ceritanya, isteri dan kedua putra-putri saya 5,5 tahun dan 3,5 tahun dapat masuk ke masjid itu. Tapi akhirnya harus “diusir” keluar hanya dengan tatapan mata dan isyarat telunjuk. Tidak dengan bahasa dan air muka yang jernih.
Isu Miring
Wallaahu a’lam. Itulah kalimat pembuka paragrap saya selanjutnya. Tiada yang tersembunyi bagi Allah. Semuanya berada dalam genggaman pengetahuan-Nya.
Apa maksud di balik itu ?
Ritual demikian dan yang sejenisnya, bukan tidak mungkin lebih dekat kepada syirik dan musuh tauhid. Bahasa untuk menjelaskan ritual seperti itu pun adalah sebagai persembahan atau sesaji, atau tumbal. Nah, alamatnya pun jelas, yaitu thaghut yang diberhalakan baik fisik maupun isme atau kepercayaan. Siapa lagi kalau bukan thagaut ? Allah ? Tidak ! Allah tidak membutuhkan tumbal, sesaji dalam bentuk apapun. Allah tidak membutuhkan kepala kerbau untuk bisa dekat dengan-Nya. Kecuali tradisi berkurban yang disyari’atkan sejak para Nabi terdahulu. Dan Allah tidak minta jatah apapun dari hewan yang disembelih untuk-Nya.
Tradisi ini agak-agak mirip dengan apa yang dilakukan musyrikin Arab dahulu yang disinggung dalam QS. Al-An’am [6] : 136.
“ Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka : ‘ Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’ Maka sajian-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian-sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka”. (QS. Al-An’am [6] : 136)
Kehadiran al-Qur’an dalam setting kultur musyrikin Arab kala itu, pada dasarnya untuk meluruskan tradisi sesaji sekaligus sebagai pesan perang bendera tauhid dengan kemusyrikan sebagai musuhnya. Hal ini tetap berlaku hingga sekarang. Artinya, selama bendera tauhid masih dikibarkan maka di situlah kemusyrikan akan diperangi, dituntun pelakunya untuk bertaubat kepada penguasa tunggal; Allah SWT.
Dalam kasus masjid Dian al-Mahri, adalah sebuah paradoks. Satu sisi membangun rumah Allah tempat bendera tauhid dipancangkan, di lain sisi “menghormati” berhala dalam satu paket yang bersamaan. Jadi, tauhid dengan syirik bergandengan tangan dan dipaksa bermesraan. Aneh.
Di sinilah pentingnya memahami tradisi secara arif. Kalu memang tidak sejalan dengan syariat, maka kita tidak perlu ragu mengatakan bahwa itu keliru. Perkara itu tetap dijalankan, adalah soal kedua yang berpulang pada keyakinan masing-masing. Jadi masalahnya bukan perlu atau tidak perlu dipertentangkan. Tapi lurus atau tidak bagi seorang muslim. Sorang muslim harus dididik, bahwa apapun yang dialaminya berupa kepahitan, merupakan musibah yang perlu disikapi dengan sabar seraya berikhtiar untuk menghilangkannya dengan cara-cara yang manusiawi religius. Tauhid menegaskan, bahwa hanya kepada Allah kita mohon keselamatan.
Masjid dan Taqwa
Masjid haruslah dibangun dengan dasar taqwa dan didirkan sebagai lambang tertinggi ke-Esaan Allah yang dibahasakan dengan sujud, zikir dan ketertundukkan secara mutlak kepada keagungan zat-Nya. Justru dari masjidlah diharapkan memancar cahaya jalan lurus yang menerabas kegelapan dan menyingkirkan hitam legamnya praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul.
Ketaqwaan sebagai landasan membangun masjid sejalan dengan tujuan untuk apa masjid itu dibangun. Ketika Rasulullah berhijrah ke Yastrib, yang pertama kali beliau lakukan adalah membangun masjid kecil berlantai tanah, beratap dan berdinding pelepah kurma. Masjid itu dikenal dengan masjid Quba, kemudian disusul dengan masjid Nabawi. Allah menisbatkan kepada masjid itu sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (QS. At-Taubah [9] ; 108). Setiap masjid semestinya memiliki landasan serupa. Hal ini berarti, bahwa kehadiran masjid di manapun, harus difahami sebagai manifestasi dari ketaqwaan kepada Allah SWT. dan sebagai pusat mengembangkan sayap dakwah. Tujuan mulia dan luhur ini harus dilakukan dengan cara-cara yang bersih, lurus dan dalam rangka bertaqarrub hanya kepada-Nya.
Patut juga diingat, bahwa masjid haruslah mencerminkan kewajaran dan kesederhanaan fisik bangunan.
Sepertinya, masjid Yayasan Dian al-Mahri tidak bisa dipaksakan dibilang sederhana. Bangunan fisik yang mentereng dengan beberapa material mewah bangunannya yang telah disinggung di awal lebih pantas untuk dibilang megah bahkan terkesan bermegah-megahan. Satu keadaan yang pada masa Nabi dan Sahabat tidak pernah terjadi. Bukankah bermegah-megahan itu dilarang agama? Namun di balik modernnya bangunan masjid itu, diselipkan tradisi animisme kepala kerbau. Bagaimana mungkin, rumah Allah dikotori dengan kebatilan dan animisme jahiliyah? Ah, di mana landasan taqwanya?
Semoga, khabar tentang kepala kerbau hanyalah isu meskipun berhembusnya amat kencang dari arah masjid kubah emas Dian al-Mahri. Sekali lagi, Wallaahu a’lam.
Hanya Ada Tiga Masjid Istimewa
Wahai para peziarah, ketahuilah pesan Nabi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Hadis dari Abu Hurairah ra Bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh dilakukan perjalanan (untuk mencari berkah) kecuali ke tiga mssjid, yaitu masjidku ini (Mesjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa” (HR. Bukhari Muslim).
No comments:
Post a Comment