Monday, May 14, 2007

Sekali lagi, Wajah "Premanisme Intelektual" Pendidikan Tinggi

Keributan antar mahasiswa, mahasiswa dengan rektorat, atau; mahasiswa-warga-rektorat, minggu-minggu ini manjadi konsumsi berita sehari-hari. Kasus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan IAIN Ambon; di mana perkelahian begitu serunya ditayangkan, menjadi menu berita yang dapat dilihat sejak pagi hingga malam hari. Agak memalukan sebenarnya. Bahkan semakin menambah panjang daftar "ketidakdewasaan" lembaga pendidikan tinggi dan mahasiswanya dalam menyelesaikan konflik internal di tubuhnya. Banyak pihak terheran-heran atas semua dagelan itu. Padahal hanya kerugian yang mereka dapat, terutama mahasiswanya. Sudah kehilangan waktu belajar, dan tentu mencoreng gelar akademis yang kelak disandangnya. Bagi perguruan tinggi dan pejabatnya, tentu akan kehilangan wibawa di mata masyarakat luas, jika mereka tidak dapat menjelaskan duduk persoalan sebenarnya kepada publik.
Jika kita cermati, perilaku senang berkelahi di lingkungan kampus, biasanya melibatkan empat varian. Mahasiswa, pihak rektorat, aparat dan "orang luar". Perkelahian antara mahasiswa dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan pihak rektorat, biasanya dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, diusulkan, yang dirasakan merugikan salah satu pihak. Jalan buntu merupakan sebab dipilihnya aksi demo yang seringkali berujung bentrokkan dan perkelahian. Akhirnya, yang kelihatan adalah wajah kekerasan dalam perkelahian massal.
Acapkali mahasiswa berhadapan dengan aparat keamanan. Aksi saling dorong dengan cepat bisa berubah dengan aksi saling lempar, pukul, tendang dan sebagainya. Ujung-ujungnya akan ada mahasiswa yang ditahan, aparat yang terluka dan sebagainya.
Yang paling tidak dewasa, apabila perseteruan antara mahasiswa dan pihak kampus telah diwarnai masuknya pihak sewaan. Kekonyolan seringkali ditunjukkan oleh pihak kampus dengan menyewa tukang pukul dan para preman untuk menghadapi aksi-aksi mahasiswa. Kita tahu, sebaik-baik preman, dia tidak segan membunuh apalagi mereka dibayar. Di sinilah telah terjadi "premanisme intelektual" dunia kampus.
Perkelahian merupakan salah satu perbuatan kriminal dan tindakan melanggar hukum. Pelakunya dapat diancam pasal-pasal kekerasan, penganiayaan, melanggar ketertiban umum bahkan bisa diancam dengan pasal upaya menghilangkan nyawa orang lain apabila jatuh korban jiwa dalam perkelahian itu.
Masyarakat yang senag berkelahi adalah ciri masyarakat yang "sakit". Kita mafhum, bahwa kondisi sakit merupakan kondisi di mana kita tidak dapat sepenuhnya merasakan nikmatnya hidup. Sampai kapankan kita merasa tidak nyaman dengan sebagian kondisi pendidikan kita yang sakit dan senang berkelahi ?

Wednesday, May 9, 2007

Sulitnya Merebut Perhatian SIswa; Catatan Pinggir Guru Kontrak

Telah ada pergeseran waktu dan pandangan hidup, sebenarnya adalah suatu keniscayaan. Semua kita, pasti akan merasakan dan harus siap menghadapinya. Sekuat tenaga dan sekuat fikiran apapun kita berupaya, pergeseran itu akan tetap hadir menunjukkan keberadaannya. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, pergeseran makna mendidik, mengajar, pola hubungan guru-murid, dari waktu ke waktu bergeser meninggalkan tempatnya semula. Satu sisi, pergeseran itu membangkitkan optimisme, sebab menunjukkan perbaikan yang bersifat mekanis. Pendidikan dan pengajaran semakin sistemik, terukur dan semakin membuka peluang lebar-lebar bagi perkembangan bakat dan minat siswa. Namun di lain sisi, guru; sebagai subjek pendidikan harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh berbeda ketika berhubungan dengan polah dan sikap siswa dalam proses pembelajaran sekarang.
Rasanya, ada nilai-nilai etis yang tergusur. Ada keluhuran yang menguap dalam pola hubungan guru-murid di balik kemajuan fisik pendidikan.
Dulu, "kehormatan" guru amat kental di mata siswa dan terpelihara secara alamiah. Guru betul-betul menjadi pusat teladan dan menjadi idola dalam pergaulan pendidikan. Siswa merasa "takut" untuk melakukan tindakan ataupun ucapan yang dirasa akan melukai hati gurunya.
Dulu, suara guru adalah suara dominan dalam setiap kali proses pembelajaran. Siswa merasa tabu dan tidak sopan apabila menyela pembicaraan gurunya di kelas.
Sekarang lain cerita. Siswa dengan amat biasa dapat saja mengangkat suaranya lebih keras dari gurunya. Bahkan kerap kali dilakukan pada saat-saat jam belajar. Mereka merasa tidak bersalah mengobrol, bercanda, tertawa pada saat-saat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan gurunya di kelas. Ya, seolah keberadaan gurunya di depan kelas, hanyalah sebagai keharusan saja. Padahal mungkin, guru merasa bahwa dia tengah "tidak diorangkan".
Dulu, dengan wibawanya; dengan kata-kata dan sikapnya, guru leluasa memberikan nasehat pendidikan yang menjadi bagian tugas-tugasnya. Dan siswa, dengan kebesaran hati dan "kepatuhannya" menerima hal itu dan menganggapnya sebagai perhatian guru terhadapnya.
Sekarang, siswa leluasa memberikan argumen apabila gurunya memberikan nasehat dalam bentuk teguran. Inilah suasana yang paling rawan. Secara tidak disadari muncul orogansi siswa dan egoisme guru. Tanpa bersalah, siswa sanggup mengatakan, " Pak !, saya bayar di sini". Dan ada guru kehilangan kedewasaan mendengar ocehan siswanya itu. Dengan suara yang agak meninggi ia menukas, " Kalau begitu, kamu bikin sekolah sendiri yang bisa kamu berbuat seenak hatimu".

***
Telah terjadi pergeseran pola hubungan guru-siswa, harus disikapi arif oleh tiga pilar utama pendidikan; keluarga, sekolah dan masyarakat. Nilai-nilai luhur seperti tata krama bagaimana pola interaksi yang sehat dibangun, harus tetap dipelihara. "Kasih-sayang" dalam konteks interaksi belajar, memang semakin kompleks. Kenyataan ini membutuhkan jalan keluar agar tidak ada satu pihak yang merasa tertekan dalam setiap kegiatan belajar mengajar, dan pendidikan dalam lingkup makro.

Pilar utama pendidikan.

Keluarga adalah madrasah pertama bagi peserta didik. Kedua orang tua menjadi guru, bukan saja secara pedagogis, tetapi adalah guru secara geneologis bagi anak. Sifat-sifat dan karakter anak banyak kesamaannya karena pengaruh gen kedua orang tuanya yang dibawa sejak lahir. Ayah atau ibunya yang paling dominan, itu persoalan kecenderungan saja. Faktor inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasila pendidikan keluarga. Sebab, kedua orang tua sekaligus gurunya itu, adalah orang yang paling memahami, paling dekat dan paling tahu kecenderungan anak di bawah buaiannya itu. Hal ini tentu berbeda, jika pola asuh dilakukan oleh orang lain selain kedua orang tuanya.
Keberhasilan pendidikan dalam keluarga akan menjadi jalan bagi keberhasilan pendidikan formal selanjutnya. Keberhasilan menanamkan nilai-nilai akhlak dalam keluarga, akan sangat membantu pembentukkan karakter siswa di sekolahnya kelak. Nah, di sinilah perlu ditanamkan kesadaran bagi orang tua, bahwa kewajibannya tidak sekedar melahirkan, memberikan sandang pangan atau kebutuhan fisik materi saja. Lebih dari itu, peran besar orang tua dituntut mampu memberikan pendidikan ruhani bagi buah hatinya.

Friday, May 4, 2007

Ironi Pendidikan di Hari Pendidikan Nasional

Awan kelabu dan mendung masih memayungi negeri ini. Gumpalan asap pesimistik itu berarak beriringan mengitari cakrawala nusantara, seperti enggan berpindah ke atas langit di belahan bumi lain. Hampir tak ada rongga bagi pori-pori bumi kita yang tidak disumbat dengan duka nestapa. Di darat, air mata mengalir. Bisa jadi karena semburan gelegak lumpur Porong, Sidoarjo. Kita masih belum tahu, kapan ia lelah dan berhenti memuntahkan isi perut bumi. Atau karena kita mual melihat ceceran darah dari korban yang tergencet di antara gerbong kereta yang terbalik atau bertabrakan satu sama lain. Belum lagi banjir, Tsunami, gempa dan longsor.

Di udara, air mata juga terburai karena tingkat kecelakaan jatuhnya pesawat terjadi berulangkali. Tak sanggup kita menyaksikan tubuh korban yang hangus terbakar dan bau anyirnya. Tanyakanlah kepada keluarga korban yang hingga saat ini belum dapat melihat jasad keluarganya karena bangkai pesawat belum ditemukan atau tak dapat dievakuasi, atau tak mungkin lagi diidentifikasi. Perih.

Laut, sebagai periuk besar bumi, yang selalu menyediakan kelezatan cita rasa dengan apa yang dikandungnya, beberapa bulan terakhir enggan menyebarkan aroma ikan bakar, kepiting rebus atau gurihnya aneka kerang. Laut justru “terlibat” melengkapi daftar kecelakaan transportasi. Seakan tidak mau ketinggalan dengan dua armada koleganya; darat dan udara.

Lebih miris lagi, awan hitam pun ternyata menyempatkan mampir dan “melegamkan” bangunan beberapa sekolah dan institusi pendidikan tanah air. Kali ini adalah awan hitam yang menghantam bangunan ruhani yang semestinya tabu bagi lembaga yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Beberapa kasus yang mencuat belakangan ini, seperti sebuah ironi, justru terjadi di “kandang” pendidikan dan hampir bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Hari ini, Jum’at 04 Mei 2007, di TV tersiar kabar seorang siswa di Jakarta Timur meninggal dunia. Diduga karena penganiayaan beberapa temannya di kamar mandi sekolah.

Sebelumnya yang masih hangat, kematian praja Cliff Muntu, Praja IPDN, pun diduga tewas akibat penganiayaan di asrama tempatnya menimba ilmu.

Dua contoh kasus di atas, sebenarnya bisa dikatakan telah keluar dari akar tradisi pendidikan yang mengajarkan kesantunan dan welas asih kepada sesama makhluk, bahkan kepada semua makhluk Allah dan alam semesta. Jika pun ada pengembangan ranah psikomotoris; yang menitikberatkan pada keterampilan mekanis yang bertumpu pada kekuatan fisik adalah dalam rangka menyempurnakan misi pendidikan dalam membentuk manusia yang sehat rohani dan jasmaninya.

Akar masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, memang bukan satu-satunya kesalahan institusi atau sistem pendidikan yang diterapkannya. Masalah-masalah pemicu di luar jendela sekolah banyak berkeliaran dan memancing tindakan kekerasan terjadi. Pengaruh tragedi rumah tangga yang menimbulkan traumatik, lingkungan pergaulan yang tidak sehat, atau intensitas tontonan dan bacaan yang mengandung kekerasan yang amat tinggi, tentulah tidak bisa dinafikan. Dengan melihat faktor-faktor luar itu, bisa jadi, sekolah atau institusi pendidikan hanyalah merupakan sarana akumulasi dari sebuah tindakan kekerasan.

Tapi bagaimanapun juga, beban lembaga pendidikan akan lebih berat berlipat-lipat dibandingkan lembaga atau institusi non pendidikan apabila telah terjadi kekerasan dan anarkhisme di dalamnya. Mengingat ia merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggungjawab langsung dalam upaya membangun karakter manusia yang santun, beradab dan berkepribadian luhur.

Masyarakat akan seperti tidak percaya dan tercengang apabila melihat segerombolan siswa yang masih mengenakan seragam sekolahnya, bertarung massal di jalan dan gang-gang sempit sambil menenteng samurai, menggenggam batu untuk melukai lawannya sesama pelajar. Beberapa tahun ke belakang prilaku tidak terpuji ini diikuti oleh mahasiswa; kakak kandungnya satu tingkat lebih tinggi. Baik perkelahian antar kampus, atau mahasiswa satu kampus dari jurusan yang berbeda. Serta merta masyarakat akan merespon, melihat dan bertanya : sebenarnya, apa yang tengah terjadi ? Lalu, apa yang mereka pelajari di sekolah sehingga menjadi liar dan bringas ? Kok, seperti preman berbaju almamater. Tidak salah jika mereka mengatakan, bahwa nilai-nilai akhlak, seperti tercerabut akarnya dari tanah pendidikan kita.

Tentu, ini bukanlah generalisasi. Di negeri kita masih banyak sekolah dan institusi pendidikan yang teduh dan masih setia dengan pengembangan kepribadian luhur yang berbasis akhlak, science, kecerdasan bahasa dan olah tubuh. Sayangnya, sekolah-sekolah model demikian hanya bisa dinikmati oleh kelas tertentu. Sebagian besar kalangan menengah ke atas. Harganya, memang selangit. Sebanding dengan pelayanan, fasilitas, aktivitas dan SDM yang dimilikinya. Sementara jika kita tengok ke pelosok, masih kita lihat potret sekolah yang hidup mengenaskan. Beberapa di antaranya roboh menimpa siswa atau gurunya yang sedang belajar dan mengajar, dan… mati.

Begitulah sebuah ironi.

Wednesday, May 2, 2007

Cliff Muntu, IPDN dan Taman Siswa

Kasus kematian Praja Cliff Muntu adalah gambaran kecerobohan yang berulang-ulang. Pepatah lama; terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali, benar-benar bukan sekedar pepatah. Tapi betul-betul dibuktikan kenyataannya oleh IPDN. Rupanya, IPDN dan oknum pelaku "stuntman" Malaikal maut, telah kehilangan kecerdasan batin untuk memahami arti hidup dan kematian. Kehidupan, yang merupakan rahmat dan anugerah Allah SWT. bagi setiap makhluk, tidak utuh dipahami sebagai amanah yang perlu dijunjung tinggi dan dipelihara eksistensinya. Dan kematian, sebagai proses perjalanan suci ruh kembali kepada Sang Khaliq, dinodai oleh cara-cara keji dan tidak manusiawi.

Selama ini kita memahami, bahwa institusi pendidikan mengusung idealisme sebagai lembaga humanisasi, bukan dehumanisasi. Ia bertugas memikul tanggung jawab memberi makna atas kemanusiaan agar manusia menjadi dewasa. Masyarakat masih menaruh kepercayaan, bahwa lembaga pendidikan merupakan institusi yang dominan memainkan peran memuluskan proses agar manusia menjadi matang sisi intelektualnya, moral-etik dan psikomotoriknya. Lebih dari itu, hampir hampir semua institusi pendidikan di negeri ini masih melekatkan nilai-nilai luhur ke-Tuhanan.

Apa yang menimpa Cliff Muntu, dan para korban terdahulu, merupakan peristiwa ganjil bagi sebuah institusi pendidikan. Wajar, bila begitu banyak pihak, geram dengan apa yang terjadi di sana. Tidak sedikit di antara mereka menangis dan menjerit atas jatuhnya para korban. Lebih banyak lagi yang meratapi "ketidakdewasaan" IPDN.

Pengalaman kekerasan, sebenarnya lebih cocok dialamatkan pada terminal atau hutan belantara, di mana rasa kasih sayang telah menipis, bahkan tidak ada, kecuali apa yang terjalin sesama klan. Di sana, yang kuat dan berotot akan menjadi semacam kepala suku yang memiliki hak istimewa, termasuk mempermainkan nasib hidup-mati orang lain bahkan anggota klannya sendiri. Kekerasan terminal dan kebuasan rimba belantara, semua orang dapat saja menganggukkan kepala. Tetapi, jika perilaku itu diambil alih oleh institusi pendidikan, orang pandir pun akan tidak setuju.

Teknologi pendidikan, sebenarnya telah melangkah maju melebihi kecepatan zaman. Kemajuan itu bukan saja dalam perangkat keras yang memungkinkan proses pendidikan bisa dikelola lebih epektif dan efisien, tetapi juga kemajuan perangkat lunaknya, seperti pemahaman yang berkembang atas teori-teori pendidikan, pengetahuan tentang kecerdasan, tentang bakat dan minat serta kecenderungan. Sampai pada, bagaimana memberikan bimbingan atas permasalahan-permaslahan yang dihadapi peserta didik. Tetapi sungguh sayang, apa yang berulangkali terjadi di IPDN, tampaknya belum terlalu jauh bergeser dari cara-cara yang digunakan pada "zaman batu", di mana keberhasilan pendidikan semata-mata diukur dari kemampuan seseorang untuk survive meskipun dengan cara melumpuhkan pihak lain.

Baiklah proses hukum berjalan, asalkan keadilan memenuhi rongga dada keluarga korban dan mengobati luka pendidikan kita. Yang perlu dicatat, smoga Cliff adalah yang terakhir. Cukuplah sudah IPDN menorehkan luka. Jangan paksa masyarakat semakin tidak percaya pada institusi pendidikan calon aparatur negara itu. Cukuplah sudah.

***

Hari ini, 2 Mei 2007, hari yang "disakralkan" pendidikan kita, HARDIKNAS. Ki Hajar Dewantara dengan TAMAN SISWA-nya, merupakan tokoh dan institusi pendidikan yang mampu memainka peran pedagogis dengan sangat elegan, terutama penggalian atas nilai-nilai luhur budaya dalam kearifan budi pekerti. Nama TAMAN SISWA telah menjadi catatan sejarah dengan tinta emas bagi dunia pendidikan kita.

Pemilihan nama TAMAN SISWA bagi Ki Hajar, bisa jadi tidak sekedar pilihan nama. Taman membentuk kesan sejuk, indah, damai dan serba menyenangkan, seperti layaknya taman dalam arti materi. Bisa saja kita membangun anggapan, bahwa maksud Ki Hajar dengan nama itu dikembalikan pada makna asalnya. Yaitu, institusi pendidikan selayaknya menjadi lembaga yang mampu mebuat penghuninya betah. Di rumah keduanya itu, peserta didik merasakan kedamaian, ketentraman, kesejukan dan tentu merasa aman dan nyaman. Tidak terelakkan, untuk mewujudkan citra insitutsi pendidikan yang demikian, salah satunya; jangan ada kekerasan dan radikalisme pedagogis di dalamnya.

IPDN, belajarlah dari Ki Hajar dan TAMAN SISWA.


sekolah roboh

sekolah roboh