Tuesday, August 28, 2007

EKSPRESI ATAS GERHANA

Petang ini, Selasa 28 Agustus 2007 kita menyaksikan kembali kebesaran Allah melalui peristiwa gerhana bulan yang jarang-jarang terjadi. Bagi seorang muslim yang mengaku cinta kepada Nabinya, gerhana bulan bukan peristiwa alam untuk dilewatkan begitu saja tanpa kesan. Atau peristiwa aneh yang dibumbui dengan perilaku dan sikap jahili, sebagaimana orang-orang dulu merespons setiap gerhana. Nenek moyang dahulu, ketika gerhana terjadi, semua lesung dan peralatan dapur ditabuh, beramai-ramai masuk ke kolong bale berhimpitan, atau percaya bahwa bulan sedang berada di mulut seorang raksasa. Sunnah mengajarkan, ketika gerhana teradi dianjurkan shalat dua rokaat dan mendengarkan khutbah, memperbanyak mengingat Allah dan bersodaqah. Gerhana tidak ada kaitannya dengan mitos dongeng raksasa, tidak ada kaitannya dengan kematian dan kehidupan seseorang. Apalagi memiliki hubungan rahasia dengan lesung dan kolong bale-bale.

إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَر َ آيَتَانِ مِنْ ايَاتِ اللهِ لاَيَخْسِفَان ِ لِمَوت ِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَتَصَدَّقُوا وَصَلُّوا

“ Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Siti Aisyah ra.

Hadits di atas berkenaan dengan peristiwa kematian salah seorang putra Rasulullah yang kebetulan berbarengan dengan peristiwa gerhana. Orang-orang kemudian mengaitkan gerhana itu karena sebab kematian putra Rasulullah. Kurang lebih mereka beranggapan, gerhana terjadi karena wafatnya putra kekasih Allah itu. Rasulullah menepis anggapan yang beraroma syirik tersebut dan meluruskannya dengan hadits di atas.

Matahari dan bulan dinyatakan sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah, sekaligus nikmat yang amat besar. Bagaimana tidak, jagat raya amat bergantung padanya. Keteraturan daur hidup manusia dan kelangsungan hidupnya, banyak sekali berghantung pada dua benda angkasa itu. Cahaya matahari, menjadikan bumi, atmosfir, udara dan air menjadi kekuatan dan sumber energi dan rizki bagi kita. Bulan dengan cahaya lembutnya itu, mengajarkan manusia berhitung bilangan dan merancang masa depannya. Kekompakkan keduanya menjadikan malam begitu nyaman untuk istirahat, sementara siangnya adalah cahaya hidup bagi kita untuk mengais rizki yang Allah sediakan. Keduanya beredar pada garis edarnya mengikuti petunjuk Allah SWT.

Begitu ajegnya benda-benda langit itu menjalani fungsinya, tidak satupun dari keduanya saling bersinggungan dan saling mendahului demi kesimbangan alam dan mematuhi penguasanya.

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ﴿٣٨﴾ وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ﴿٣٩﴾ لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿٤٠﴾

“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.( QS. Yaasin [36] : 37 – 40)

Kita memang harus sering-sering membaca peristiwa alam. Terutama segala peristiwa yang begitu banyak menimbulkan kerugian bagi kehidupan kita karena ada campur tangan manusia di dalamnya. Kepandaian membaca peristiwa yang terjadi itu sangat penting untuk kita jadikan cermin dan kaca diri. Sebab, begitu banyak sudah peristiwa yang berseliweran berpapasan dengan kita, tidak sanggup kita baca dengan cerdas. Banjir dan longsor datang satu dua kali, bahkan puluhan kali, tapi penebangan hutan tidak pernah berhenti, bahkan semakin banyak hutan yang dibabat. Orang pandir masih saja tanpa dosa membuang dan menumpuk sampah di sungai-sungai.

Kadangkala, beberapa gelintir orang begitu ceroboh dan tanpa perhitungan memperlakukan alam dengan sangat tidak santun. Hanya demi keuntungan dan dalih pembangunan ekonomi, lautan bumi dieksploitasi berlebihan. Karunia dan titipan Allah itu diperas dan dipaksa melayani nafsu serakahnya. Akhirnya, orang lain yang lebih banyak menelan kepahitan akibatnya.

Kita perlu banyak belajar dari matahari dan bulan tentang rasa takut dan ketundukkan kepada Allah yang tanpa pamrih. Tentu dengan kapasitas kita sebagai manusia. Namun, identitas manusia yang kita sandang sebagai makhluk berakal dan paling mulia itu, seringkali disesatkan oleh egoisme tanpa tahu diri. Ternyata yang rajin merusak alam selama ini adalah manusia dan egonya. Yang mencemari sungai dan lautan adalah manusia dan egonya. Aduh sayang, kebanyak pelakunya justru adalah orang-orang beragama dan berTuhan. Dan … entah apalagi.

Kerusakan lingkungan yang berdampak buruk itu, tentu belum seberapa jika disejajarkan dengan kerusakan moral, aqidah dan keyikanan yang menjadi wilayah ruhani. Sampai hari ini, kita masih menyaksikan lahirnya manusia-manusia yang secara zahir berpenampilan rapih, berwibawa dan menarik. Tetapi setelah terkuak, ternyata hanyalah manusia-manusia rusak.

Pembusukkan aqidah, merupakan sisi lain dari persoalan yang dihadapi ummat Islam bangsa ini. Di rumah kita yang bersahaja, tempat yang paling aman bagi anak, isteri dan seluruh anggota keluarga, telah disusupi hantu, syetan, jin, makhluk halus dan lelembut versi elektronik. Apalagi, beberapa di antaranya jelas-jelas mengandung khurafat atau kesyirikan. Seperti seorang ustadz yang memakai biji tasbih sebagai jimat. Dari tasbih keluar huruf-huruf hija’iyyah atau bisa meledak. Ini sangat lazim muncul di TV. Padahal Nabi telah mengingatkan,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
”Sesungguhnya jampi, jimat dan pelet adalah kesyirikan.” (HR Ibnu Majah, Ahmad).

Sudah banyak ummat Islam yang terpikat kepada khurafat, takhayyul dan dunia mistis. Islam kemudian dipersepsikan sebagai agama yang penuh dengan nuansa mistis, agama yang menanamkan dimensi kualat dan berbagai kekerasan dunia ghaib. Semua itu, hampir tiap malam dapat disaksikan li layer kaca rumah kita. Tidak dapat dihindari, meskipun diangkat dari kisah nyata, sebagai kelengkapan cerita menuntut adanya tambahan dan rekayasa kejadian, nama maupun tempat. Unsur melebih-lebihkan dari kejadian sebenarnya jelas ada. Karena tanpa bumbu ini, cerita menjadi hambar, kurang dramatis. Akhirnya, kedustaan mendominasi isi cerita yang disajikan. Padahal Rasul pernah mengungkapkan :

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR Abu Dawud)

Di samping kebenaran cerita perlu dipertanyakan, kesimpulan dan pengambilan ibrah juga seringkali kurang bijaksana. Untuk satu kejadian mengerikan melulu dikaitkan dengan dosa tertentu. Misalnya kuburan yang tergenang air, lalu serta merta dikaitkan dengan dosa si mayit. Ini berbahaya dan naif, sebab bisa menimbulkan su’uzhan kepada mayit yang mengalami hal serupa padahal bisa jadi karena sifat tanah teempat penguburannya merupakan daerah sumber mata air.
Atau kuburan yang mengeluarkan asap, lalu serta merta juga dikaitkan dengan perselingkuhan yang pernah dilakukan si mayit. Hal-hal seperti ini dikhawatirkan ketika ada kejadian yang kurang wajar, lalu orang begitu mudahnya diarahkan untuk meyakini peristiwa aneh itu, dicari sisi dosa dan dibesar-besarkan, padahal ternyata hanya sebagai bumbu cerita saja.
Memang, kisah adalah sarana penting diterimanya dakwah. Tetapi tak perlu mengibuli umat untuk mendakwahi mereka. Untuk itulah Nabi tidak pernah bercerita kecuali yang benar. Jika ingin berkisah, maka sebaik-baik kisah adalah kisah yang dipaparkan di dalam Al-Qur’an. Datanya akurat, tidak ada kedustaan di dalamnya. Pelajaran yang bisa dipetik juga telah tergambar jelas. Misalnya tentang siksa bagi kaum Luth, di mana bumi di balik, mereka dihujani batu sampai mati, itu karena dosa homoseks yang mereka lakukan. Atau Qarun yang ditenggelamkan ke bumi beserta kekayaannya, itu karena kesombongannya.
Al-Qur’an memang memerintahkan agar kita percaya dan meyakini perkara-perkara ghaib. Tetapi, kepercayaan kepada yang ghaib harus sejalan dan sesuai sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah dan rasul-Nya. Bukan seperti yang dilakukan dan dipertontonkan oleh segelintir orang, yang dengan angkuh dan sombongnya menjelaskan perkara-perkara ghaib dari sumber bisikan-bisikan yang dikarang-karang. Mengapa kita harus mempercayai perkara ghaib berdasarkan bisikan-bisikan yang kebenarannya belum jelas sementara kesesatannya tidak diragukan. Wahai kaum muslimin, cukuplah Allah yang menuntun dan menunjukkan kita dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin sepenuhnya manusia dapat memahaminya. Bukankah Allah telah mengingatkan kita dalam firmannya :

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“ Katakanlah,” Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. Dan mereka tidak mengetahui kalau mereka akan dibangkitkan”. (QS. An-Naml [27] : 65)

Yah, kita memang perlu belajar ketaatan kepada berbagai peristiwa alam. Gerhana bulan yang baru saja kita saksikan, mudah-mudahan mengarahkan kita kepada aqidah yang murni, tanpa bumbu syirik dan khurafat. Ekspresi yang luhur atas gerhana hanya, shalat sunnah dua rokaat dan khutbah, memperbanyak sodaqoh dan bertakbir kepada-Nya. Wallahua’lam.

Tuesday, August 7, 2007

KEPALA KERBAU, ISU TAK SEDAP DARI MASJID KUBAH EMAS

Not For Children

Menyaksikan wujud masjid berkubah emas milik Yayasan Dian al-Mahri memang menakjubkan, siapapun pengagumnya. Animo masyarakatpun nampak besar dan megah, semegah arsitektur bangunan masjid itu. Hampir setiap pekan di hari Sabtu dan Minggu, pengunjung berdatangan ingin melihat dari dekat menghilangkan rasa penasaran kubah emasnya yang konon 18 karat. Atau ingin meraba marmer lantai dan dindingnya yang konon pula didatangkan dari Italia kualitas terbaik. Mereka datang dengan bus-bus besar yang sengaja dicarter patungan. Lebih banyak lagi kendaraan pribadi. Sebagian besar mereka datang dari luar kota sekitar. Ada di antaranya dari Serang, Bandung, Sukabumi, Tasikmalaya dan sebagainya. Boleh jadi berasal dari luar Jawa. Ya, hanya untuk melihat dari dekat, shalat, atau mengikuti wisata ziarah kerjaan panitia.

Arsitektur bangunannya, lapis emas kubahnya dan marmer yang melatarinya, barangkali menjadi daya tarik yang mengundang kaum muslimin mengunjunginya. Terlepas dari kabar mistis entah dari mana ujungnya, konon masjid itu berasal dari perut bumi serupa cendawan muncul ke permukaan dan membentuk diri menjadi masjid, aya-aya wae. Jika dilihat dari bekasan pengunjung, tentulah mereka datang dengan bersusah payah, cucur keringat dan iuran seperak dua ribu untuk dapat menyewa bus pengantarnya. Saya, yang setiap hari kerja, berangkat dan pulang melintasi masjid itu, kadang tergelitik, jangan-jangan masjid mereka malah sepi jamaahnya. Atau tidak seantusias ketika bertamu ke masjid di Cinere, Depok itu. Mereka datang dengan pakaian yang kompak, seragam. Satu dua di antaranya menggunakan perhiasan mencolok dan bermake up agak mencorong. Maklum, wanita.

Tidak semua peziarah dapat merasakan kepuasan berdekatan dengan masjid yang dibangun sejak tahun 1999 itu. Banyak yang memendam kekecewaan dan menelan asa yang tak kesampaian. Bisa jadi karena ketidaktahuan, bahwa pengunjung di bawah usia 10 tahun tidak diperkenankan untuk memasuki rumah Allah yang mewah tersebut. Banyak di antara mereka bertanya, apa dalih yang membenarkan anak kecil dilarang masuk ke masjid ? Tentu, peziarah yang datang dari jauh akan merasa bahwa ini tidak adil dan aneh.

Saya agak heran, entah bagaimana ceritanya, isteri dan kedua putra-putri saya 5,5 tahun dan 3,5 tahun dapat masuk ke masjid itu. Tapi akhirnya harus “diusir” keluar hanya dengan tatapan mata dan isyarat telunjuk. Tidak dengan bahasa dan air muka yang jernih.


Isu Miring


Wallaahu a’lam. Itulah kalimat pembuka paragrap saya selanjutnya. Tiada yang tersembunyi bagi Allah. Semuanya berada dalam genggaman pengetahuan-Nya.

Ada kawan, penduduk asli sekitar lokasi masjid bercerita. Cerita yang aneh dan ganjil. Minimal menurut nalar saya. Pembangunan masjid diawali dengan ritual tidak lazim bagi pembangunan sebuah masjid sebagai rumah Allah dan lambang tauhid. Bersama dengan penanaman pondasi, turut pula dipendam kepala kerbau dibungkus kain putih. Sisa daging kerbau selain kepala, menjadi bagian yang disedekahkan bagi orang sekitar untuk dinikmati. Pelaku ritual dikenali sebagai “ustad” yang cukup dikenal di daerah itu.

Apa maksud di balik itu ?

Ritual demikian dan yang sejenisnya, bukan tidak mungkin lebih dekat kepada syirik dan musuh tauhid. Bahasa untuk menjelaskan ritual seperti itu pun adalah sebagai persembahan atau sesaji, atau tumbal. Nah, alamatnya pun jelas, yaitu thaghut yang diberhalakan baik fisik maupun isme atau kepercayaan. Siapa lagi kalau bukan thagaut ? Allah ? Tidak ! Allah tidak membutuhkan tumbal, sesaji dalam bentuk apapun. Allah tidak membutuhkan kepala kerbau untuk bisa dekat dengan-Nya. Kecuali tradisi berkurban yang disyari’atkan sejak para Nabi terdahulu. Dan Allah tidak minta jatah apapun dari hewan yang disembelih untuk-Nya.

Tradisi ini agak-agak mirip dengan apa yang dilakukan musyrikin Arab dahulu yang disinggung dalam QS. Al-An’am [6] : 136.

“ Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka : ‘ Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’ Maka sajian-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian-sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka”. (QS. Al-An’am [6] : 136)

Kehadiran al-Qur’an dalam setting kultur musyrikin Arab kala itu, pada dasarnya untuk meluruskan tradisi sesaji sekaligus sebagai pesan perang bendera tauhid dengan kemusyrikan sebagai musuhnya. Hal ini tetap berlaku hingga sekarang. Artinya, selama bendera tauhid masih dikibarkan maka di situlah kemusyrikan akan diperangi, dituntun pelakunya untuk bertaubat kepada penguasa tunggal; Allah SWT.

Dalam kasus masjid Dian al-Mahri, adalah sebuah paradoks. Satu sisi membangun rumah Allah tempat bendera tauhid dipancangkan, di lain sisi “menghormati” berhala dalam satu paket yang bersamaan. Jadi, tauhid dengan syirik bergandengan tangan dan dipaksa bermesraan. Aneh.

Ada kawan saya yang bilang, itu hanya adat dan tidak perlu lah dipertentangkan. Hal itu sudah mengakar jauh sebagai sebuah tata nilai yang “patut” dihargai. Tradisi yang turun temurun hampir setiap ada momen membangun bangunan penting hal itu dilakukan. Alasannya pun agak menakutkan. Konon jika hal itu tidak disuguh, ada saja celaka-celaka yang mengikuti proses pembangunan apapun. Entah pekerjanya, mandornya dan orang yang terlibat langsung atau tidak kena tulahnya. Bahkan katanya, pake acara minta berapa nyawa sebagai kompensasi atas keengganan memberi kepala kerbau. Namun ketika saya bertanya, adakah jaminan jika permintaan kepala kerbau itu dipenuhi tidak terjadi kecelakaan apapun baik sebelum atau sesudahnya. Absurd. Apalagi ketika saya gunakan logikanya, bahwa sampai saat inipun kecelakaan di jalan tol masih tetap terjadi setiap saat. Beberapa waktu lalu, ada mobil yang terjun dari lantai empat sebuah pusat perbelanjaan. Atau berapa banyak nyawa yang tercerabut saat kereta api mengalami tabrakan dan sebagainya. Padahal bisa jadi; seperti tuturnya, hampir semua proyek penting meminta kepala kerbau.

Di sinilah pentingnya memahami tradisi secara arif. Kalu memang tidak sejalan dengan syariat, maka kita tidak perlu ragu mengatakan bahwa itu keliru. Perkara itu tetap dijalankan, adalah soal kedua yang berpulang pada keyakinan masing-masing. Jadi masalahnya bukan perlu atau tidak perlu dipertentangkan. Tapi lurus atau tidak bagi seorang muslim. Sorang muslim harus dididik, bahwa apapun yang dialaminya berupa kepahitan, merupakan musibah yang perlu disikapi dengan sabar seraya berikhtiar untuk menghilangkannya dengan cara-cara yang manusiawi religius. Tauhid menegaskan, bahwa hanya kepada Allah kita mohon keselamatan.


Masjid dan Taqwa


Masjid haruslah dibangun dengan dasar taqwa dan didirkan sebagai lambang tertinggi ke-Esaan Allah yang dibahasakan dengan sujud, zikir dan ketertundukkan secara mutlak kepada keagungan zat-Nya. Justru dari masjidlah diharapkan memancar cahaya jalan lurus yang menerabas kegelapan dan menyingkirkan hitam legamnya praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul.

Ketaqwaan sebagai landasan membangun masjid sejalan dengan tujuan untuk apa masjid itu dibangun. Ketika Rasulullah berhijrah ke Yastrib, yang pertama kali beliau lakukan adalah membangun masjid kecil berlantai tanah, beratap dan berdinding pelepah kurma. Masjid itu dikenal dengan masjid Quba, kemudian disusul dengan masjid Nabawi. Allah menisbatkan kepada masjid itu sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (QS. At-Taubah [9] ; 108). Setiap masjid semestinya memiliki landasan serupa. Hal ini berarti, bahwa kehadiran masjid di manapun, harus difahami sebagai manifestasi dari ketaqwaan kepada Allah SWT. dan sebagai pusat mengembangkan sayap dakwah. Tujuan mulia dan luhur ini harus dilakukan dengan cara-cara yang bersih, lurus dan dalam rangka bertaqarrub hanya kepada-Nya.

Patut juga diingat, bahwa masjid haruslah mencerminkan kewajaran dan kesederhanaan fisik bangunan. Ada semacam penilaian sementara para ahli bahwa dalam sejarah Islam tercatat perhatian yang berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kekurangan, kedangkalan dan ketidakberdayaannya dalam memenuhi fungsui-fungsinya. Seolah-olah kemegahan arsitektur dan estetika dijadikan konpensasi untuk menyembunyikan kekurangan atau ketidakberdayaan tersebut.

Sepertinya, masjid Yayasan Dian al-Mahri tidak bisa dipaksakan dibilang sederhana. Bangunan fisik yang mentereng dengan beberapa material mewah bangunannya yang telah disinggung di awal lebih pantas untuk dibilang megah bahkan terkesan bermegah-megahan. Satu keadaan yang pada masa Nabi dan Sahabat tidak pernah terjadi. Bukankah bermegah-megahan itu dilarang agama? Namun di balik modernnya bangunan masjid itu, diselipkan tradisi animisme kepala kerbau. Bagaimana mungkin, rumah Allah dikotori dengan kebatilan dan animisme jahiliyah? Ah, di mana landasan taqwanya?

Semoga, khabar tentang kepala kerbau hanyalah isu meskipun berhembusnya amat kencang dari arah masjid kubah emas Dian al-Mahri. Sekali lagi, Wallaahu a’lam.


Hanya Ada Tiga Masjid Istimewa


Wahai para peziarah, ketahuilah pesan Nabi :

‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ ‏ ‏الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ‏ ‏وَمَسْجِدِ‏ الرَّسُولِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Hadis dari Abu Hurairah ra Bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh dilakukan perjalanan (untuk mencari berkah) kecuali ke tiga mssjid, yaitu masjidku ini (Mesjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa” (HR. Bukhari Muslim).

Imam Bukhari dalam Sahihnya mengambil satu riwayat dari Abu Said al-Khudri (sahabat yang pernah ikut berperang bersama Nabi sebanyak dua belas kali) tentang larangan melakukan perjalanan untuk mengunjungi masjid sebagaimana riwayat di atas, diiringi dengan tiga larangan yang sangat tegas keharamannya. Artinya, larangan mengunjungi masjid dengan bersusah payah dapat dianggap setara dengan larangan tiga hal tersebut. Pertama, seorang wanita tidak boleh bepergian sendiri selama dua hari melainkan didampingi oleh suami atau mahramnya. Kedua, tidak boleh melakukan puasa pada dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ketiga, tidak boleh mengerjakan shalat sesudah dua shalat, yaitu shalat Shubuh hingga matahari terbit dan sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam. Dan keempat, tidak boleh dilakukan perjalanan (untuk mencari berkah) kecuali hanya perjalanan ke tiga masjid, yaitu ke masjidil Haram, masjidil Aqsa dan ke masjidku ini (masjid Nabawi).

Kelihatannya, semakin hari semakin banyak orang yang menziarahi masjid kubah emas milik Yayasan Dian al-Mahri tersebut. Perlu juga dicatat, jika sebuah masjid belum diwakafkan menjadi milik ummat Islam, maka status masjid tersebut sama saja dengan rumah pribadi, penginapan pribadi dan segala hak milik pribadi. Tapi, begitu banyak ummat Islam yang terlalu silau memandang kilau emas dan indah arsitekturnya, sehingga tidak dapat melihat sessensi sebuah masjid. Wallahu a'lam.


sekolah roboh

sekolah roboh