Friday, May 4, 2007

Ironi Pendidikan di Hari Pendidikan Nasional

Awan kelabu dan mendung masih memayungi negeri ini. Gumpalan asap pesimistik itu berarak beriringan mengitari cakrawala nusantara, seperti enggan berpindah ke atas langit di belahan bumi lain. Hampir tak ada rongga bagi pori-pori bumi kita yang tidak disumbat dengan duka nestapa. Di darat, air mata mengalir. Bisa jadi karena semburan gelegak lumpur Porong, Sidoarjo. Kita masih belum tahu, kapan ia lelah dan berhenti memuntahkan isi perut bumi. Atau karena kita mual melihat ceceran darah dari korban yang tergencet di antara gerbong kereta yang terbalik atau bertabrakan satu sama lain. Belum lagi banjir, Tsunami, gempa dan longsor.

Di udara, air mata juga terburai karena tingkat kecelakaan jatuhnya pesawat terjadi berulangkali. Tak sanggup kita menyaksikan tubuh korban yang hangus terbakar dan bau anyirnya. Tanyakanlah kepada keluarga korban yang hingga saat ini belum dapat melihat jasad keluarganya karena bangkai pesawat belum ditemukan atau tak dapat dievakuasi, atau tak mungkin lagi diidentifikasi. Perih.

Laut, sebagai periuk besar bumi, yang selalu menyediakan kelezatan cita rasa dengan apa yang dikandungnya, beberapa bulan terakhir enggan menyebarkan aroma ikan bakar, kepiting rebus atau gurihnya aneka kerang. Laut justru “terlibat” melengkapi daftar kecelakaan transportasi. Seakan tidak mau ketinggalan dengan dua armada koleganya; darat dan udara.

Lebih miris lagi, awan hitam pun ternyata menyempatkan mampir dan “melegamkan” bangunan beberapa sekolah dan institusi pendidikan tanah air. Kali ini adalah awan hitam yang menghantam bangunan ruhani yang semestinya tabu bagi lembaga yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Beberapa kasus yang mencuat belakangan ini, seperti sebuah ironi, justru terjadi di “kandang” pendidikan dan hampir bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Hari ini, Jum’at 04 Mei 2007, di TV tersiar kabar seorang siswa di Jakarta Timur meninggal dunia. Diduga karena penganiayaan beberapa temannya di kamar mandi sekolah.

Sebelumnya yang masih hangat, kematian praja Cliff Muntu, Praja IPDN, pun diduga tewas akibat penganiayaan di asrama tempatnya menimba ilmu.

Dua contoh kasus di atas, sebenarnya bisa dikatakan telah keluar dari akar tradisi pendidikan yang mengajarkan kesantunan dan welas asih kepada sesama makhluk, bahkan kepada semua makhluk Allah dan alam semesta. Jika pun ada pengembangan ranah psikomotoris; yang menitikberatkan pada keterampilan mekanis yang bertumpu pada kekuatan fisik adalah dalam rangka menyempurnakan misi pendidikan dalam membentuk manusia yang sehat rohani dan jasmaninya.

Akar masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, memang bukan satu-satunya kesalahan institusi atau sistem pendidikan yang diterapkannya. Masalah-masalah pemicu di luar jendela sekolah banyak berkeliaran dan memancing tindakan kekerasan terjadi. Pengaruh tragedi rumah tangga yang menimbulkan traumatik, lingkungan pergaulan yang tidak sehat, atau intensitas tontonan dan bacaan yang mengandung kekerasan yang amat tinggi, tentulah tidak bisa dinafikan. Dengan melihat faktor-faktor luar itu, bisa jadi, sekolah atau institusi pendidikan hanyalah merupakan sarana akumulasi dari sebuah tindakan kekerasan.

Tapi bagaimanapun juga, beban lembaga pendidikan akan lebih berat berlipat-lipat dibandingkan lembaga atau institusi non pendidikan apabila telah terjadi kekerasan dan anarkhisme di dalamnya. Mengingat ia merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggungjawab langsung dalam upaya membangun karakter manusia yang santun, beradab dan berkepribadian luhur.

Masyarakat akan seperti tidak percaya dan tercengang apabila melihat segerombolan siswa yang masih mengenakan seragam sekolahnya, bertarung massal di jalan dan gang-gang sempit sambil menenteng samurai, menggenggam batu untuk melukai lawannya sesama pelajar. Beberapa tahun ke belakang prilaku tidak terpuji ini diikuti oleh mahasiswa; kakak kandungnya satu tingkat lebih tinggi. Baik perkelahian antar kampus, atau mahasiswa satu kampus dari jurusan yang berbeda. Serta merta masyarakat akan merespon, melihat dan bertanya : sebenarnya, apa yang tengah terjadi ? Lalu, apa yang mereka pelajari di sekolah sehingga menjadi liar dan bringas ? Kok, seperti preman berbaju almamater. Tidak salah jika mereka mengatakan, bahwa nilai-nilai akhlak, seperti tercerabut akarnya dari tanah pendidikan kita.

Tentu, ini bukanlah generalisasi. Di negeri kita masih banyak sekolah dan institusi pendidikan yang teduh dan masih setia dengan pengembangan kepribadian luhur yang berbasis akhlak, science, kecerdasan bahasa dan olah tubuh. Sayangnya, sekolah-sekolah model demikian hanya bisa dinikmati oleh kelas tertentu. Sebagian besar kalangan menengah ke atas. Harganya, memang selangit. Sebanding dengan pelayanan, fasilitas, aktivitas dan SDM yang dimilikinya. Sementara jika kita tengok ke pelosok, masih kita lihat potret sekolah yang hidup mengenaskan. Beberapa di antaranya roboh menimpa siswa atau gurunya yang sedang belajar dan mengajar, dan… mati.

Begitulah sebuah ironi.

No comments:

sekolah roboh

sekolah roboh