WC, bagi kita tidak sekedar persoalan estetika dan kebersihan saja. Tetapi juga menyangkut persoalan akhlak, persoalan etika. Dalam satu riwayat dari Abu Hurairah, Rasulullah menegaskan larangan dalam buang hajat :
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا
"Bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila kamu mendatangi tempat buang air, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya." (HR. Muslim)
Dalam riwayat Abu Ayyub ada tambahan : وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
"Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat." (HR. Muslim)
Posisi kiblat di Madinah adalah menghadap ke Selatan, sedangkan membelakangi kiblat berarti menghadap ke Utara. Menghadap ke barat dan timur artinya tidak menghadap kiblat dan juga tidak membelakanginya.
Jika hadits ini diterapkan di Indonesia, tentu tidak tepat hanya dipahami secara zahir teks. Sebab jika dipahami demikian akan bertentangan dengan maksud larangan dalam hadis itu. Pemahaman yang benar atas riwayat Abu Ayyub dalam konteks geografi Indonesia berarti, "Tetapi menghadaplah ke utara atau ke selatan."
Sebab posisi Ka'bah geografi Indonesia berada di sebelah barat agak serong ke kanan beberapa derajat. karena itu WC yang dibangun orang muslim, selalu diarahkan ke utara-selatan untuk menghindari menghadap atau membelakangi kiblat.
Memang, ada pemahaman atas hadits di atas tidak berlaku bagi WC yang tertutup seperti sekarang. Alasan tersebut berdasarkan sifat tempat buang air di masa lalu bukan berbentuk kamar mandi yang tertutup melainkan tempat terbuka yang sepi tidak dilalui orang-orang. Sedangkan bila tempatnya tertutup seperti kamar mandi di zaman kita sekarang ini, tidak dilarang bila sampai menghadap kiblat atau membelakanginya. Pendapat ini didasari hadits riwayat Imam Tirmizi berikut ini.
Dari Jabir ra. berkata bahwa Nabi SAW melarang kita menghadap kiblat saat kencing. Namun aku melihatnya setahun sebelum kematiannya menghadap kiblat". (HR.Tirmizi)
Ada dua riwayat yang sejalan dikemukakan di sini dan satu riwayat yang berbeda dalam masalah ini. Yang pertama dan kedua sunnah qauliyah berupa larangan dan perintah. Riwayat yang ketiga sunnah fi'liyah. Nah, mendahulukan sunnah qauliyah akan lebih arif sebab menyangkut perintah Nabi untuk dilaksanakan dan larangannya untuk dihindari. Ini berarti, saat buang hajat sebaiknya menghindari menghadap kiblat dan membelakanginya, baik ada penghalang maupun di tempat terbuka.***
Saya berasumsi, hotel dan WC-nya itu bukan milik orang muslim. Saya mafhum dari nama hotel yang tertulis jelas di muka pintu gerbangnya. Nah, wajar kalau demikian. Tetapi saya jujur, ada kecurigaan sedikit, jangan-jangan memang sengaja dirancang menghadap searah dengan kiblat. Ini semacam perangkap bagi tamu muslim menginap yang tidak menyadari bahwa ia telah menghadap atau membelakangi kiblat shalatnya saat buang hajat di hotel itu. Tapi sekali lagi jujur, kecuriagaan itu berkurang setelah saya bertanya pada ketua paniti studi wisata tentang WC di kamarnya. Katanya " Iya ya, tapi ... di kamar saya menghadap Utara-Selatan". Syukurlah. Barangkali posisi kita yang harus bergeser jika kebetulan buang hajat di hotel atau tempat-tempat umum yang kebetulan menghadap kiblat, daripada WC-nya yang kita dibongkar. Cepe deeeeh.
1 comment:
besok2 study wisatanya ke kampung saya aja pak, wc-nya luaaaas... dan panjaaaang.... hehehe... tinggal pilih mau menghadap kemana.
gratis lagi.
Post a Comment