Prof. Alby sedikit kecewa pada sessi terakhir acara workshop atas beberapa saran dari peserta workshop tentang kurikulum, penulisan silabus dan ToT yang dilaksanakan untuk Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas di Hotel Grand Tropic, Jakarta Barat beberapa hari lalu. Barangkali menurutnya, bagaimana mungkin, peserta workshop begitu bersemangat, partisipatif dan kelihatan sangat senang dalam setiap sessi, tetapi di akhir acara ada catatan-catatan agak miring terkait jalannya workshop yang digagas AIBEP dan Depag tersebut. Untunglah suasana kembali cair. Sebagai peserta, saya menduga bahwa Prof. Alby salah persepsi atas saran para peserta yang dianggapnya tidak mencerminkan animo yang begitu tinggi setiap kali ia memberikan materi yang ditunjukkan para peserta. Saya juga yakin, saran yang ditulis para peserta lebih terkait soal teknis aplikatif bukan pada dirinya dan substansi materi yang disampaikannya. Bahkan, saya tidak yakin kalau para peserta tidak menyukai Prof. Alby. Dia yang humoris, hangat dan bersahaja. Ketahanan fisiknya sangat prima untuk ukuran pria berusia 68 tahun memberikan ceramah selama 5 hari. Luar biasa. Seingat saya, Dia tidak menggunakan mikropon saat berbicara, tapi sangat jelas ditangkap, meski pemahamannya tidak semua bisa dimengerti peserta karena kendala bahasa. Untunglah ada Prof. Muljani, Mas Arif dan Mba Katty juga Pak Unang yang banyak menjembatani was wes wos-nya Pa Alby. Tentu yang tidak kalah penting, Dia sangat menguasai persoalan pengembangan kurikulum di sekolah, bagaimana mengelola pembelajaran, bagaimana menilai dan melakukan evaluasi, mengembangkan silabus dan semua yang terkait dalam tema besar workshop kali itu.
Mungkin selama ini, guru di balik pengalamannya, masih menempatkan dirinya sebagai subjek dan materi pembelajaran menjadi gagasan utama dalam belajar, sedangkan siswa ditempatkan sebagai objek belajar. Kenyataan ini dibalikkan seratus delapan puluh derajat dalam workshop itu, dengan memposisikan siswa sebagai subjek belajar. Siswalah yang berperan, sementara guru hanyalah fasilitator. Gagasan belajar tidak lagi dibangun pada apa yang akan mereka pelajari, tetapi berfikir bagaimana siswa belajar.
Mungkin sebagian peserta telah banyak tahu pergeseran paradigma itu. Tetapi seolah-olah baru kali ini informasi itu didapatkan. Di sinilah Pa Alby berperan besar dalam menyajikan paradigma baru itu sampai pada tingkat yang paling substantif dalam runtutan manajemen belajar; silabus.
Begitulah, menulis silabus yang telah menjadi makanan wajib bagi guru dalam tugasnya mengembangkan pembelajaran, "terpaksa" harus direkonstruksi dalam acara itu. Paling tidak pada gagasan pokok silabus yang mencerminkan ,"Bagaimana siswa belajar ?" bukan, "Apa yang harus dipelajari siswa ?".