Wednesday, May 2, 2007

Cliff Muntu, IPDN dan Taman Siswa

Kasus kematian Praja Cliff Muntu adalah gambaran kecerobohan yang berulang-ulang. Pepatah lama; terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali, benar-benar bukan sekedar pepatah. Tapi betul-betul dibuktikan kenyataannya oleh IPDN. Rupanya, IPDN dan oknum pelaku "stuntman" Malaikal maut, telah kehilangan kecerdasan batin untuk memahami arti hidup dan kematian. Kehidupan, yang merupakan rahmat dan anugerah Allah SWT. bagi setiap makhluk, tidak utuh dipahami sebagai amanah yang perlu dijunjung tinggi dan dipelihara eksistensinya. Dan kematian, sebagai proses perjalanan suci ruh kembali kepada Sang Khaliq, dinodai oleh cara-cara keji dan tidak manusiawi.

Selama ini kita memahami, bahwa institusi pendidikan mengusung idealisme sebagai lembaga humanisasi, bukan dehumanisasi. Ia bertugas memikul tanggung jawab memberi makna atas kemanusiaan agar manusia menjadi dewasa. Masyarakat masih menaruh kepercayaan, bahwa lembaga pendidikan merupakan institusi yang dominan memainkan peran memuluskan proses agar manusia menjadi matang sisi intelektualnya, moral-etik dan psikomotoriknya. Lebih dari itu, hampir hampir semua institusi pendidikan di negeri ini masih melekatkan nilai-nilai luhur ke-Tuhanan.

Apa yang menimpa Cliff Muntu, dan para korban terdahulu, merupakan peristiwa ganjil bagi sebuah institusi pendidikan. Wajar, bila begitu banyak pihak, geram dengan apa yang terjadi di sana. Tidak sedikit di antara mereka menangis dan menjerit atas jatuhnya para korban. Lebih banyak lagi yang meratapi "ketidakdewasaan" IPDN.

Pengalaman kekerasan, sebenarnya lebih cocok dialamatkan pada terminal atau hutan belantara, di mana rasa kasih sayang telah menipis, bahkan tidak ada, kecuali apa yang terjalin sesama klan. Di sana, yang kuat dan berotot akan menjadi semacam kepala suku yang memiliki hak istimewa, termasuk mempermainkan nasib hidup-mati orang lain bahkan anggota klannya sendiri. Kekerasan terminal dan kebuasan rimba belantara, semua orang dapat saja menganggukkan kepala. Tetapi, jika perilaku itu diambil alih oleh institusi pendidikan, orang pandir pun akan tidak setuju.

Teknologi pendidikan, sebenarnya telah melangkah maju melebihi kecepatan zaman. Kemajuan itu bukan saja dalam perangkat keras yang memungkinkan proses pendidikan bisa dikelola lebih epektif dan efisien, tetapi juga kemajuan perangkat lunaknya, seperti pemahaman yang berkembang atas teori-teori pendidikan, pengetahuan tentang kecerdasan, tentang bakat dan minat serta kecenderungan. Sampai pada, bagaimana memberikan bimbingan atas permasalahan-permaslahan yang dihadapi peserta didik. Tetapi sungguh sayang, apa yang berulangkali terjadi di IPDN, tampaknya belum terlalu jauh bergeser dari cara-cara yang digunakan pada "zaman batu", di mana keberhasilan pendidikan semata-mata diukur dari kemampuan seseorang untuk survive meskipun dengan cara melumpuhkan pihak lain.

Baiklah proses hukum berjalan, asalkan keadilan memenuhi rongga dada keluarga korban dan mengobati luka pendidikan kita. Yang perlu dicatat, smoga Cliff adalah yang terakhir. Cukuplah sudah IPDN menorehkan luka. Jangan paksa masyarakat semakin tidak percaya pada institusi pendidikan calon aparatur negara itu. Cukuplah sudah.

***

Hari ini, 2 Mei 2007, hari yang "disakralkan" pendidikan kita, HARDIKNAS. Ki Hajar Dewantara dengan TAMAN SISWA-nya, merupakan tokoh dan institusi pendidikan yang mampu memainka peran pedagogis dengan sangat elegan, terutama penggalian atas nilai-nilai luhur budaya dalam kearifan budi pekerti. Nama TAMAN SISWA telah menjadi catatan sejarah dengan tinta emas bagi dunia pendidikan kita.

Pemilihan nama TAMAN SISWA bagi Ki Hajar, bisa jadi tidak sekedar pilihan nama. Taman membentuk kesan sejuk, indah, damai dan serba menyenangkan, seperti layaknya taman dalam arti materi. Bisa saja kita membangun anggapan, bahwa maksud Ki Hajar dengan nama itu dikembalikan pada makna asalnya. Yaitu, institusi pendidikan selayaknya menjadi lembaga yang mampu mebuat penghuninya betah. Di rumah keduanya itu, peserta didik merasakan kedamaian, ketentraman, kesejukan dan tentu merasa aman dan nyaman. Tidak terelakkan, untuk mewujudkan citra insitutsi pendidikan yang demikian, salah satunya; jangan ada kekerasan dan radikalisme pedagogis di dalamnya.

IPDN, belajarlah dari Ki Hajar dan TAMAN SISWA.


No comments:

sekolah roboh

sekolah roboh